Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono mengklaim jumlah penduduk miskin di negeri ini semakin berkurang. Namun kesenjangan sosial masih saja terjadi. Bahkan di ibukota Jakarta, potret kemiskinan tergambar jelas di sudut kota. Kemiskinan merupakan potret kehidupan yang sangat sulit dihapus di negeri ini. Presiden boleh saja berganti tapi kemiskinan seakan tak mampu lenyap dari bumi pertiwi.
Jika disuruh memilih, Mbah Lasinem (80) tentu ingin tinggal di rumah mewah yang dilengkapi fasilitas di dalamnya. Sayangnya, warga Dusun Larangan Desa Clapar Kecamatan Karanggayam, Kebumen, itu tidak punya pilihan lain. Kemiskinan yang menjeratnya, memaksa ia tinggal di sebuah rumah reyot di RT 7 RW 2 yang layak disebut gubuk.
Ya, sejak lahir, Mbah Lasinem telah menghuni rumah warisan orang tuanya. Hingga tahun ini, 80 tahun sudah ia mengisi hari-harinya di rumah berlantai tanah dan berdinding bambu. Ia tak sendirian, Tarsih (40) anak perempuan dan kelima orang cucunya menemani.
Memprihatinkan memang, sejak puluhan tahun dihuni, rumah yang hanya memiliki dua ruangan itu juga tanpa dilengkapi fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Buang air besar satu keluarga pun dilakukan di sungai. Padahal, pada musim kemarau seperti ini air sungai yang berada sekitar 200 meter dari rumah tersebut juga digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Mbah, Lasiem sudah lama ditinggal suaminya. Berapa tahun, ia sudah tidak begitu mengingatnya. Begitu pula dengan Tarsih. Ia sudah lama menjanda. Lebih dari 10 tahun. Sejak itu, mereka berdua terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.
Diakui atau tidak, tanpa keberadaan suami, membuat ekonomi semakin sulit. Jangankan untuk memikirkan rumah layak, mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah begitu sulit. Penghasilan kedua janda itu, hanya diperoleh dari membuat tikar anyaman pandan. Padahal penghasilan itu jauh dikatakan mencukupi untuk hanya sekadar membuat dapur mengepul.
"Saya sudah tua, jadi tidak kuat kerja berat lagi," tutur Mbah Lasinem saat ditemui Suara Merdeka di rumahnya, Jumat (13/6).
Untuk membuat satu tikar anyaman pandan, katanya memakan waktu empat hari. Hasilnya hanya laku dijual kepada tengkulak yang mengambilnya seharga Rp 8.000. Itu berarti, kerja sehari Mbah lasinem hanya menghasilkan Rp 2.000.
Rumah yang cukup sempit menjadi saksi perjuangan Mbah Lasinem dan Tarsih. Namun kedua perempuan itu mengaku sedih ketika cucunya dan anaknya pulang merantau. Rumah itu seakan tidak muat lagi untuk menampung. Saat tidur mereka seperti ikan yang siap dipanggang. Jika sudah begitu, sebagian tidak pulang atau tidur di luar.
Selama ini, hanya satu anaknya Satiman (20) yang masih bertahan de desa. Sehari-hari ia menjadi kuli kasar. Penghasilan yang diterima pun tidak tetap "Anak-anak memang lebih senang merantau karena di desa sulit mendapatkan pekerjaan," imbuh Tarsih dengan suara parau.
Terkadang, Tarsih merasa menyesal tidak bisa mewariskan apa-apa kepada anak-anaknya kecuali kemiskinan. Satu-satunya harta yang dimiliki adalah sapi bantuan IDT. Namun di balik itu semua, ia bersyukur warga di desa itu peduli dengan kehidupannya. Akhir 2007 lalu warga bergotong royong memperbaiki rumah yang hampir roboh itu.
Di desa tersebut, ternyata Lasinem dan Tarsih ternyata tidak sendirian. Pemerintah desa setempat mendata setidaknya terdapat 36 rumah yang kondisinya tidak jauh beda. Mereka tersebar di beberapa dusun antara lain, Dusun Gilar, Alian, Sudikampir, Karangsempu dan Dusun Watu Pundutan.
"Kami sudah mengajukan kepada Pemkab Kebumen agar mereka memperoleh bantuan. Namun hingga saat ini bantuan itu tidak kunjung terealiasasikan," ujar Kepala Desa Clapar Sukirno didampingi Kaur Kesra Sulhani.
Hal yang sama dikatakan Ketua BPD Clapar Rasito. Ia mengakui masih banyak warga Clapar masih pra sejahtera. Perlu berbagai upaya untuk mendongkrak ekonomi masyarakat. "Kami berharap pembangunan tidak hanya dipusatkan di wilayah perkotaan saja," kata Rasito.
Kondisi yang dialami sebagian warga di Desa Clapar itu merupakan sebagian kecil potret kemiskinan di Kebumen. Pendataan Dinas Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Masyarakat (KBPM), jumlah rumah tidak layak huni di Kebumen sekitar 6.200 unit. Namun angka itu menurun dari tahun 2006 yang jumlahnya mencapai 6.500 unit.
Pemkab tidak menutup mata dengan kondisi itu. Berbagai upaya telah dilakukan. Misalnya melalui program Pemugaran Perumahan Pedesaan (P2P) tahun 2006, berhasil direhab 100 rumah. Setiap rumah mendapatkan bantuan Rp 3 juta. Tahun berikutnya, program yang sama bisa membantu renovasi 200 unit rumah di 67 desa. Nilainya bantuan bertambah menjadi Rp 5 juta/unit.
"Pada tahun 2008 ini ditargetkan 360 rumah yang tersebar di 72 desa, akan direnovasi dengan bantuan Rp 5 juta/unit," kata Kabid Ketahanan Masyarakat Drs Sipatmin menyebutkan, anggaran APBD Kebumen yang disiapkan sebesar Rp 1,8 miliar.
Namun karena permintaan bantuan rehab dari masyarakat sangat tinggi, sedangkan dana pemerintah terbatas pihaknya tidak bisa memenuhi seluruh permintaan itu. "Kami akan mengajukan bantuan ke pemerintah pusat guna perbaikan rumah tidak layak huni di Kebumen," tagasnya.
2 komentar:
Ngga ada tingggalan sawah ya? jadi yg miskin sampai seperti ini bukan keluarga petani..
kasihan...
Posting Komentar
Thanks :)